Minggu, 08 Agustus 2010

3 Tragedi Yang PernahMenggegerkan Indonesia Tahun80-an

1. Petrus (penembakan misterius)
Tapi dua butir peluru segera bersarang di
tubuhnya. Satu di dada dan satu di kepala.
Tubuhnya lalu tumbang dan dibiarkan
tergeletak di pinggir jalan. Esok hari, bisik-
bisik beredar di masyarakat. Dia adalah
Robert preman yang selama ini ditakuti,
sampah masyarakat, bromocorah!
Mungkin nasib Bathi Mulyono masih lebih
baik. Begitu mendengar dirinya ikut

menjadi target, dia segera melarikan diri
hingga ke sejumlah negara luar negeri
seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.
Meninggalkan istri dan anaknya yang baru
lahir. Namun, Bathi dan anaknya yang kini
berusia 25 tahun, Lita, telah bertemu
kembali.
Tahun 1980-an. Ketika itu, ratusan
residivis, khususnya di Jakarta dan Jawa
Tengah, mati ditembak. Pelakunya tak jelas
dan tak pernah tertangkap, karena itu
muncul istilah "petrus", penembak
misterius. Tahun 1983 saja tercatat 532
orang tewas, 367 orang di antaranya tewas
akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107
orang tewas, di antaranya 15 orang tewas
ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang
tewas, 28 di antaranya tewas ditembak.
Para korban Petrus sendiri saat ditemukan
masyarakat dalam kondisi tangan dan
lehernya terikat. Kebanyakan korban juga
dimasukkan ke dalam karung yang
ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah,
dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun.
Pola pengambilan para korban kebanyakan
diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput
aparat keamanan.
Kala itu, para pria bertato disergap
ketakutan karena muncul desas-desus,
petrus mengincar lelaki bertato. Peristiwa
penculikan dan penembakan terhadap
mereka yang diduga sebagai gali, preman,
atau residivis itu, belakangan, diakui
Presiden Soeharto, sebagai inisiatif dan
atas perintahnya. "Ini sebagai shock
therapy," kata Soeharto dalam biografinya,
Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan
Saya.
Mayat-mayat itu ketika masih hidup
dianggap sebagai penjahat, preman,
bromocorah, para gali, dan kaum kecu
yang dalam sejarah memang selalu
dipinggirkan, walau secara taktis juga
sering dimanfaatkan. Pada saat penembak
misterius merajalela, para cendekiawan,
politisi, dan pakar hukum angkat bicara.
Intinya, mereka menuding bahwa
hukuman tanpa pengadilan adalah
kesalahan serius. Meski begitu, menurut
Soeharto, “Dia tidak mengerti masalah
yang sebenarnya.” Mungkin tidak terlalu
keliru untuk menafsir bahwa yang
dimaksud Soeharto sebagai orang yang
mengerti masalah sebenarnya adalah
dirinya sendiri.
Sayang, petrus hanya berlaku untuk
preman kelas teri, mereka yang merampok
karena lapar. Sayang, petrus tidak berlaku
untuk preman berdasi, mereka yang
mencuri karena mereka rakus...
2. Sengkon dan Karta, Sebuah Ironi
Keadilan
Lima tahun bukan waktu yang teramat
pendek. Apalagi untuk dihabiskan di dalam
sebuah ruangan beku bernama penjara.
Apalagi untuk sebuah perbuatan yang tidak
pernah dilakukannya. Tapi Sengkon dan
Karta mengalaminya. Kepada siapakah
mereka harus mengadu, jika sebuah
lembaga bernama pemerintah tidak bisa
lagi dipercaya? Sebab keadilan tidak pernah
berpihak kepada Sengkon, juga Karta, juga
mereka yang lain, yang bernama rakyat
kecil.
Alkisah sebuah perampokan dan
pembunuhan menimpa pasangan suami
istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari,
Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat
kemudian polisi menciduk Sengkon dan
Karta, dan menetapkan keduanya sebagai
tersangka.
Keduanya dituduh merampok dan
membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya.
Tak merasa bersalah, Sengkon dan Karta
semula menolak menandatangani berita
acara pemeriksaan. Tapi lantaran tak tahan
menerima siksaan polisi, keduanya lalu
menyerah. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih
mempercayai cerita polisi ketimbang
bantahan kedua terdakwa. Maka pada
Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun
penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu
dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.
Dalam dinginnya tembok penjara itulah
mereka bertemu seorang penghuni penjara
bernama Genul, keponakan Sengkon, yang
lebih dulu dibui lantaran kasus pencurian.
Di sinilah Genul membuka rahasia: dialah
sebenarnya pembunuh Sulaiman dan Siti!.
Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel
dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.
Meski begitu, hal tersebut tak lantas
membuat mereka bisa bebas. Sebab
sebelumnya mereka tak mengajukan
banding, sehingga vonis dinyatakan telah
berkekuatan hukum tetap. Untung ada
Albert Hasibuan, pengacara dan anggota
dewan yang gigih memperjuangkan nasib
mereka. Akhirnya, pada Januari 1981, Ketua
Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji
memerintahkan agar keduanya dibebaskan
lewat jalur peninjauan kembali.
Berada di luar penjara tidak membuat nasib
mereka membaik. Karta harus menemui
kenyataan pahit: keluarganya kocar-kacir
entah ke mana. Dan rumah dan tanah
mereka yang seluas 6.000 meter persegi di
Desa Cakung Payangan, Bekasi, telah
amblas untuk membiayai perkara mereka.
Sementara Sengkon harus dirawat di
rumah sakit karena tuberkulosisnya makin
parah, sedangkan tanahnya yang selama ini
ia andalkan untuk menghidupi keluarga
juga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual
istrinya untuk menghidupi anak-anaknya
dan membiayai dirinya saat diproses di
polisi dan pengadilan. Walau hanya
menanggung beban seorang istri dan tiga
anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan
pekerjaannya sebagai petani, karena sakit
TBC terus merongrong dan terlalu banyak
bekas luka di badan akibat siksaan yang
dideranya.
Sementara itu Sengkon dan Karta juga
mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100
juta kepada lembaga peradilan yang salah
memvonisnya. Namun Mahkamah Agung
menolak tuntutan tersebut dengan alasan
Sengkon dan Karta tidak pernah
mengajukan permohonan kasasi atas
putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada
1977. ‘Saya hanya tinggal berdoa agar
cepat mati, karena tidak ada biaya untuk
hidup lagi ’ kata Sengkon.
Lalu Tuhan berkuasa atas kehendaknya.
Karta tewas dalam sebuah kecelakaan,
sedangkan Sengkon meninggal kemudian
akibat sakit parahnya. Di sanalah mereka
dapat mengadu tentang nasibnya, hanya
kepada Tuhan (berbagai sumber)
.
3. Arie Hanggara
Ada yang bilang ibu kota lebih kejam
daripada ibu tiri. Tapi ibu tiri yang satu ini
jauh lebih kejam. Arie Hanggara, bocah 7
tahun ini tewas dianiaya orang tuanya
sendiri. Peristiwa pada akhir November
1984 itu tiba-tiba menyentakkan perhatian
publik. Media massa menuliskannya
panjang-lebar. Sidang pengadilannya
membeludak. Orang ingin tahu seperti apa
sosok kedua orang tua Ari: Machtino bin
Eddiwan dan Santi binti Cece. Bahkan
rekonstruksi yang harus dilakukan suami-
istri itu nyaris gagal karena massa
melampiaskan kemarahan kepada kedua
pesakitan.
Arie tiba-tiba menjadi simbol dari anak-
anak yang tertindas. Bahkan sampai-
sampai tim pengacara orang tua Arie
mendapat teror dari orang-orang yang
tidak dikenal. Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nugroho Notosusanto sempat
membuatkan patung Arie--meski akhirnya
dibatalkan--sebagai peringatan agar kasus
serupa tak terulang di masa mendatang.
Akibat himpitan beban ekonomi yang
dialami oleh kedua orang tuanya, ayahnya
seorang pengangguran, dengan tiga orang
anak, membuatnya gelap mata. Akibatnya
dia menjadi ringan tangan. Ketika suatu
hari dituduh mencuri uang maka Arie
Hanggara dipukul dan disiksa hingga
menemui ajal di tangan orang yang
seharusnya melindunginya.
Kisah bocah malang tersebut pernah
diangkat ke layar lebar oleh sutradara
Frank Rorimpandey, dan dibintangi oleh
Deddy Mizwar, Joice Erna.
sumber : http://www.kaskus.us/
showthread.php?t=4916101

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More